Rabu, 13 Oktober 2010

Satu Hati Untuk Batik




Terik matahari menyelimuti pulau kecil nan indah. Terbentang tanah lapang yang begitu luas, namun kering dan jauh dari sejuk. Hari terlihat sangat cerah ketika aku menginjakkan kakiku di dusun yang sekejap tampak sepi senyap tak ada aktivitas apapun. Tak seperti dusun-dusun kebanyakan biasanya banyak warga yang menghabiskan banyak waktunya di sawah.
Entah untuk menanam, merawat hingga membersihkan rumput liar di ladang. Akan tetapi aktivitas itu tak terlihat sedikitpun sepanjang perjalananku. Di halaman rumah atau lapangan luas biasanya banyak anak-anak yang sekedarnya menghabiskan waktu luangnya untuk bermain bersama teman sebayanya. Beda, semua itu sangat sulit untuk ditemui jika kita mengunjungi dusun tersebut.
Sepintas tak terlihat istimewa keadaan Dusun Banyumas Desa Klampar Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan Madura dengan dusun yang biasa aku kunjungi di pulau garam itu. Dusun Banyumas merupakan pusat batik tulis di Madura, karena seluruh warganya berprofesi pembatik. Warga yang ramah, polos, dan santun menjadi ciri khas yang tak bisa dipisahkan dari kepribadian masyarakat pedesaan.
Keadaan sekejap berubah tegang dalam perjalananku menuju salah satu rumah warga tepat di sebelah rumah yang aku tuju terjadi kecelakaan dua sepeda motor yang menyebabkan empat orang terluka. Dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun suasana panik yang seakan menghidupkan dusun yang terlihat sunyi tersebut dengan berbondong-bon-dongnya warga ke tempat kejadian lambat laun kembali seperti suasana asalnya.
Kulanjutkan langkah memasuki pekarangan yang terdapat papan bertulis “Batik Tulis Air Mas Novita “ di suatu rumah yang tak terkesan begitu istimewa di dua bola mataku. Namun, ketika memasuki rumah itu tumpukan-tumpukan kain yang di penuhi motif-motif garis, lekukan, lingkaran dan lain sebagainya sangat indah terlihat. Itulah banyak karya dan inovasi pemikiran yang telah di tumpahkan di atas kain putih polos. Batik tulis yang selama ini hanya dapat di nikmati keindahannya di pasar tradisional di Pamekasan, terasa beda ketika melihat langsung ke sentralnya.
Akan tetapi saat itu, tidak dapat dipungkiri goresan-goresan malan yang melekat dengan motif dan corak seribu warna tersebut memberikan sejuta arti. Arti kehidupan, arti persahabatan, arti kekayaan budaya, arti alam semesta dan lain-lain.
Berprofesi sebagai pembatik telah lama di geluti oleh Nurhayati (33) dan seluruh keluarganya. keberadaan seni membatik yang merupakan warisan moyang bagi penduduk dusun Banyumas dan untuk menjaga kelestariannya maka dari sejak kecil batik telah diperkenalkan oleh orang tua, dan senantiasa mengajari setiap hari hingga fasih dalam membuat batik tersebut.
Akan tetapi, yang menjadi hal menarik adalah sebelum anak-anak warga mendalami seni membatik orang tua menyuruh mereka untuk lebih dahulu men-dalami ilmu agama. Hal tersebut bertujuan agar selain menggunakan seni batik itu sebagai mata pencaharian di duniawi mereka juga dapat sejalan mempersiapkan bekal amal baik di akhirat kelak.
Budaya tersebut turun temurun senantiasa dilaksanakan oleh warga setempat. Dari anak berusia 7 sampai 10 tahun mereka ajak anak-anaknya belajar di pondok pesantren. Sehingga ketika berkunjung ke dusun Banyumas sulit sekali menemui anak-anak hingga remaja yang berada di rumah. Dan aktivitas yang dilakukan oleh orang tua mereka, dilakukan juga ketika mereka telah lulus atau ketika mereka telah berkeluarga.
Setiap hari, aktivitas wanita berpostur 150 sentimeter tersebut hanya ditemani oleh kain putih, malan, chantheng (alat untuk menggoreskan malan di atas kain), dan sebuah kompor kecil yang di gunakan untuk memanaskan malan agar tetap cair. Dalam menjalani itu semua dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan, agar batik yang dihasilkan menjadi bagus.
Motif yang terlukis di atas kain putih tersebut memiliki bermacam jenis antara lain sekar jagad, kerapan sapi, kenari, rawan, dan lain-lain. Dan dalam perkembangannya terdapat nama motif berdasarkan nama tokoh misalnya motif SBY yang diadaptasi dari batik yang di pakai Presiden Indonesia itu, selain itu juga terdapat batik Manohara yang berlatarbelakang batik yang dipakai oleh artis Manohara.
Menurut Budi (40), motif yang sering di pesan oleh para pelanggan maupun pembeli adalah motif sekar jagad karena bentuk-bentuk yang dibuat tergolong sangat sulit dan membutuhkan banyak waktu. Selain itu bahan kain yang banyak digunakan yaitu premis dan sutra, sehingga harganya bisa melambung tinggi daripada dengan motif lainnya.
Berbagai macam motif yang terlukis, sebenarnya belum cukup untuk menghasilkan batik tulis yang berkualitas tinggi tetapi jenis kain yang juga menen-tukan harga yang tinggi pula. Tingkatan kain terbagi menjadi empat macam, yaitu sutera, premis, santio dan santun. Jika motif batik sekar jagad yang di batik di kain sutera maka harganya bisa mencapai tiga ratus ribu rupiah.
Bagi wanita yang akrab di panggil “Nur” batik seakan telah menjadi satu bagian penting dalam kehidupan diri dan keluarganya. Dalam mengerjakan batik perhari dapat diselesaikan 20 sampai 30 lembar, tetapi itu dikerjakan secara bergotong royong oleh anggota keluarga. Ada yang membuat desain batik, ada yang memalan kain, ada yang mewarnai hingga menjemurnya.
Pembagian tugas pembuatan batik tulis dalam keluarganya menurut keahlian masing-masing anggota keluarga. Nur sendiri berperan membuat desain motif batik dan memotong kain, adiknya Siti (28) yang menggoreskan malan panas pada kain yang telah di desain motif, sedangkan ibundanya Rohayah (75) dan suaminya udi bertugas memberi warna, mencelup ke dalam air panas dan dingin serta menjemurnya. Kegiatan tersebut senantiasa dilakukan dengan penuh senyum bahagia.
Peralatan dan bahan-bahan yang di gunakan masih tradisional. Dari pewarna yang masih menggunakan tanaman sekitar, dan peralatan untuk mencelupkan kain ke dalam air panas masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Hal ini tetap dipertahankan selain menjaga kualitas juga menjaga keaslian warisan moyang.
Dalam proses pembuatan batik tulis itu terdapat bermacam kendala yang silih berganti datang misal modal yang ter-golong tinggi ketika pesanan batik mem-bludak, musim hujan yang mengganggu proses penjemuran kain, dan persediaan kayu bakar untuk mencelup kain batik yang telah diberi warna.
Tak seperti warga dusun kebanyakan di Pamekasan yang bermata pencaharian sebagai petani, dan nelayan, du-sun Banyumas itu warganya bermata pencaharian sebagai pembatik. Hal itu terjadi karena batik yang notabenenya meru-pakan karya yang mempunyai nilai jual yang sangat tinggi dan merupakan hasil karya yang banyak diminati oleh masyarakat, mengakibatkan warga menggantungkan masalah ekonomi keluarga pada batik-batik karyanya.
Dusun Banyumas memang belum dikenal menyeluruh oleh masyarakat Pamekasan sebagai sentral industri batik tulis Madura. Keberadaannya yang terletak jauh dari pusat kota menyebabkan banyak masyarakat Pamekasan belum mengetahuinya. Tidak hanya letaknya yang yang kurang mendukung tetapi usaha dari para pengrajinnya juga yang kurang maksimal dalam usaha mempromosikan dusunnya sebagai pusat industri batik tulis.
“Kami hanya membuat batik saja dan hanya memperdagangkannya melalui pasar-pasar tradisional di Pamekasan dan di rumah. Masalah promosi kami hanya mengandalkan pengunjung dan pelanggan yang ingin membantu kami memperkenalkan produk batik tulis kepada siapapun,” tutur Budi.
Kepopuleran batik tulis Madura asal Pamekasan memang tidak sepopuler dengan batik tulis asal Pekalongan, Solo dan Jogjakarta. Hal itu terjadi akibat kebe-radaannya yang belum tersentuh secara serius oleh pemerintah Pamekasan.
Pada 24 Juli 2009 lalu, Pemkab Pamekasan membuat terobosan dengan mencanangkan kota tersebut sebagai kota batik yang ditandai dengan kegiatan "Pamekasan Membatik" yang digelar di sekitar monumen Arek Lancor. Kegiatan membatik yang masuk dalam catatan Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) tersebut diikuti 600 pembatik, dengan panjang kain yang dibatik 1.530 meter, angka sesuai dengan hari jadi Kabupaten Pamekasan.
Keseriusan pemerintah kota Pame-kasan dibuktikan dengan cara serentak tembok-tembok pagar kantor, sekolah dan gedung-gedung berlokasi strategis di cat bermotif batik Madura sehingga sepan-jang jalan sangat mudah di jumpai. Selain itu juga di hari jumat dan sabtu diwajibkan kepada pegawai negeri dan siswa-siswi dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) mengenakan batik. Hal ini dilakukan sebagai usaha menjaga kelestarian batik yang merupakan karya seni asli Indonesia.
“Saya sangat mendukung sekali Pamekasan menjadi kota Batik karena dapat menambah devisa pemerintah Kabu-paten Pamekasan, dan selain itu juga mem-berikan kesempatan bagi masyarakat Pamekasan membuka lapangan kerja, serta menanamkan kepada masyarakat Pame-kasan untuk mencintai produk lokal dan budaya asli Indonesia” ungkap Budi.
Pamekasan juga ingin menegaskan pada masyarakat Indonesia bahwa dari keempat kabupaten yang ada di Madura, Pamekasan merupakan pusat industri batik Madura karena banyaknya pembatik dari luar kota seperti Sumenep, Sampang, dan Bangkalan belajar menekuni batik Madura di dusun Banyumas. Batik Madura di Pamekasan memiliki ciri khas yaitu dalam berbagai motif dan warna yang variatif pasti terdapat unsur warna merah yang menggambarkan pulau Madura yang panas. Di bandingkan dengan batik Ma-dura asal tiga kabupaten di pulau garam itu yang masih belum mempunyai ciri khas.
Hal tersebut diakui oleh salah satu pengunjung Rosi (20) yang mengatakan bahwa batik Madura asal Pamekasan lebih mempunyai ciri khas, sehingga lebih banyak diminati oleh para pembeli dan pencinta batik.
Dulunya oleh-oleh yang bisa dibawa dari Pamekasan adalah makanan khasnya yaitu otok (makanan berupa kacang-kacangan yang mempunyai rasa manis pedas), kripik lorjuk dan Sate. Sekarang semua itu terasa kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan oleh-oleh batik tulis Madura. Karena identitas Kabupaten Pamekasan yang dulunya terkenal sebagai kota pendidikan, dan kota gerbang salam, saat ini telah bertambah menjadi Kota Batik.
Adanya jembatan Suramadu juga memberi pengaruh besar bagi pembatik, yakni semakin banyaknya pesanan batik. Pesanan berasal dari berbagai golongan misal pejabat, pegawai negeri hingga masyarakat umum, namun juga dari luar kota hingga luar daerah Madura.
Batik tulis yang umumnya dijual di pasar tujuh belas Pamekasan, berkisar dari Rp.50.000,- hingga ratusan ribu. Dan pemasarannya tidak dapat setiap hari dapat dijumpai, namun hanya ketika hari pasaran seperti hari Kamis dan Minggu. Sehingga kebanyakan pembeli lebih memilih berkunjung langsung ke dusun Banyumas meski jauh dari pusat kota.
“Dalam seminggu kami dapat menyelesaikan hingga 200 lembar batik, itu sebelum adanya jembatan Suramadu, tapi beda halnya ketika jembatan Suramadu telah beroperasi dalam se-minggu kami dapat menyelesaikan 300 lembar batik dengan modal maksimal Rp.2.500.000,- dan keuntungan penjualan Rp.225.000,-” itu jika dalam keadaan nor-mal tetapi jika kedatangan pengunjung dalam jumlah yang banyak keuntungannya dapat mencapai hingga jutaan rupiah,” ungkap Nur.
Terlihat berbeda rumah yang aku kunjungi itu, berdiri kokoh dengan arsitektur bangunan perkotaan berdinding batu bata, berlantai keramik dengan tak bermotif putih polos tapi berbeda dengan rumah masyarakat di sekitar terlihat masih berdinding bambu dan tak bisa dikatakan layak. Keadaan tersebut bertolak belakang dengan batik tulis mempunyai nilai seni dan jual yang sangat tinggi, karena belum bisa mengangkat status sosial ekonomi warga.
Budi mengungkapkan warga Banyumas terkesan tidak terlalu memen-tingkan keuntungan yang di dapat dari penjualan batik untuk membangun tempat tinggal menjadi lebih layak, tapi mereka lebih memprioritaskan keuntungan tersebut dijadikan modalnya membuat batik.
Keunikan yang dimiliki oleh batik Madura menyebabkan banyak pengunjung yang berasal dari luar kota hingga pengunjung dari ibukota negara. Warna yang mencolok dan bentuk motif yang khas memberikan nilai lebih jika diban-dingkan dengan batik asal Lamongan, Solo dan Jogjakarta yang terkesan mempunyai corak warna yang relatif hampir sama. Ke-beradaannya pun dianggap sudah terkesan biasa, karena telah lebih dahulu terkenal dan populer di kalangan masyarakat Indo-nesia.
Ibu dari dua anak tersebut menga-takan batik tulis hasil buatannya ada yang telah sampai ke Jakarta hingga ada juga yang keluar negeri. Pembelinya pun berasal dari kalangan pejabat ibukota. Namun Bupati dan Wabup Pamekasan sangat sering memesan batik tulis untuk digunakan dalam berbagai acara. Banyak sekali pelanggannya yang membantunya memasarkan batik tulisnya.
“Dan juga saya selalu memprio-ritaskan kualitas batik tulis karya saya ini, sehingga pembeli yang berkunjung jauh-jauh ke dusun Banyumas tidak merasa kecewa,” tambahnya.
Kekhasan yang dimiliki oleh batik Madura adalah mengutamakan batik tulis dari pada batik cap karena bagi para pem-batik, batik cap kurang memiliki nilai seni dan hal itu dapat menyebabkan kelunturan keaslian warisan moyang mereka. Keta-kutan yang timbul akibat batik cap se-tidaknya tidak mengurangi semangat peng-rajin batik tulis dusun Banyumas.
Kualitas kain batik yang digunakan juga menjadi prioritas penting agar ke-awetannya terjaga. Usaha yang dilakukan oleh Nur dalam menjaga kualitas dan keawetan kain adalah dengan cara dikettel. Menurut pengetahuannya usaha tersebut menyebabkan warna batik tidak mudah luntur, semakin lama warnanya lebih bagus meskipun sering dicuci.
Bagi keluarga Nur, batik bukan hanya sekedar untuk mencari nafkah bagi keluarga akan tetapi merupakan kekayaan seni dan budaya Madura terutama Pamekasan. Dalam kehidupan sehari-harinya pun pakaian yang dikenakan lebih dominan batik karyanya. Seakan batik merupakan salah satu bagian tubuh yang tak bisa terpisahkan.
Sepanjang kehidupannya membatik sudah bukan lagi suatu profesi, tetapi adalah salah satu kewajiban. Rasa bosan bisa dikatakan telah hilang dalam benak Nurhayati dan keluarganya karena telah terbiasa. Dari sapu tangan, spray, baju, taplak meja dan lain-lain semuanya ber-motif batik. Sangat menarik ketika mem-perhatikan segala hal itu.
Batik juga dapat dijadikan sebagai simbol kebersamaan dan kekayaan. Di-katakan kebersamaan karena dalam pem-buatannya semua anggota keluarga ber-sama-sama bekerja, dan menjadi simbol kekayaan karena di zaman dahulu batik se-lalu dikenakan oleh seorang penguasa yang memiliki kekuatan kekuasaan di Pame-kasan, yaitu Panembahan Ronggo Sukowati.
Rasanya tak cukup hanya berwisata alam saja ketika mengunjungi kota batik, akan tetapi akan lebih lengkap lagi langsung berkunjung ke pusat pengrajin batik sehingga tidak hanya rasa kebahagiaan batin saja yang terasa tetapi rasa yang bersifat nyata pula. Yaitu dengan membawa oleh-oleh batik khas Madura yaitu batik tulis asal dusun Banyumas.(Sy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar