Senin, 08 Juni 2009

Manajemen Produksi

Membahas bagian ini memerlukan otak yang lumayan cerdas, paling nggak udah tamat SMA. Bagian ini adalah bagian yang sangat vital, yang akan menentukan jalan nggaknya sebuah proses produksi. Ini adalah otak sekaligus badan dari produksi itu sendiri. Jadi kalo kalian belajar ini, nggak bakalan nyesel deh, karena nggak semua orang dapat materi ini, apalagi di bangku kuliahan kita..

RATING, SHARE, HUT, PUT, CPM


Oleh: Novin Farid SW, S.SOS

  1. RATING
  • A rating is the percent of households tune to a particular program from the total available tv households in a designated area.
  • Rating adalah besarnya persentase rumah tangga pemilik tv yang menonton acara tertentu dari seluruh pemilik tv di daerah tertentu

Jenis Karya Audio Visual

1.Film Fiksi
Biasanya dikenal dengan film cerita. Menggunakan cerita rekaan memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal.
Film Cerita Pendek
Biasanya dibawah 60 menit.
Film Cerita Panjang
Biasanya lebih dari 60 menit, Lazimnya durasi antara 90-120 menit

Film Dokumenter

Oleh: Novin Farid SW, S.SOS
A.PENGERTIAN DASAR
Arti documenter maka kita dihadapkan oleh dua hal, yaitu sesuatu yang nyata, factual (ada atau terjadi) dan esensial, bernilai atau memiliki makna.
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan
Film Dokumenter adalah film yang menyajikan suatu kenyataan berdasarkan fakta obyektif yang memiliki nilai essensial dan eksistensial artinya menyangkut kehidupan lingkungan hidup dan situasi nyata.

Komposisi

Oleh: Novin Farid Styo W.
Pengertian
Kalau dianalogikan, bahwa komunikasi dalam dunia Audio Visual setidaknya sama dengan pembuatan Makanan (kue, masakan dll).
Jika pada makanan akan sangat terasa perpaduan bahan-bahan yang digunakan untuk menciptakan suatu karya masakan hingga sampai dilidah.

Komunikasi Audio Visual

Oleh: NOVIN FARID,SW,S.SOS

Malang Media Watch


Berapa stasiun TV yang Anda kenal?

Data Dan Fakta:

Pada tahun 1996 , sekitar 90 juta penduduk Indonesia sudah memiliki pesawat televisi.

  1. Memperhitungkan bahwa sejak 1994 pertambahan pesawat televisi di Indonesia sekitar 650.000 buah setiap tahunnya

  2. Bisa diperkirakan dalam tahun 2007 terdapat 96.500.000 pesawat televisi.

Jika setiap pesawat TV ditonton oleh dua orang, jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai 193 juta orang atau 87% dari jumlah penduduk Indonesia.

2 X 96.500.000 = 193.000.000 orang


Tayangan bencana tsunami menimpa rakyat Aceh yang setiap hari kita disuguhi di layar kaca telah menggugat simpatik dan empatik kita dan ikut merasakan betapa pedihnya saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.

Gelombang tsunami sangat dahsyat itu sempat diabadikan beberapa kamerawan amatir di mana maut tinggal sejengkal di depan mereka, dan melululantahkan benda dan makhluk apa saja yang ada di sekelilingnya.

Kehadiran media massa yang menyuguhkan berita dan informasi bencana besar di Aceh khususnya medium televisi telah membawa pikiran, perasaan, dan hati nurani penonton berada di ruang-ruang keluarga yang seakan-akan hadir dan berada di tempat bencana.

Gugahan emosi dan hati nurani publik digetarkan medium televisi lalu menghantarkan dan menjalarkan kesedihan mendalam seantero dunia (meminjam terminologi Victor Menayang).

Karena susah untuk dibayangkan, gelombang mahadahsyat ini yang merenggut nyawa puluhan ribu jiwa tidak akan berdampak signifikan seandainya berita dan informasi tidak dikemas dalam bentuk audio visual. Karena sifat media audio visual itu mampu ?menghipnotis? pikiran dan emosi penonton sehingga kita larut dalam suatu drama kesedihan dan kegembiraan.

Kekuatan media (powerful media) dimiliki layar kaca berkaitan dengan bencana tsunami luar biasa dan telah menjadi bencana kemanusiaan maka beberapa stasiun televisi berupaya memproduk mata-mata acaranya baik dalam bentuk news maupun hiburan yang peduli dengan bencana tsunami.

Terlepas dari beberapa kritik yang muncul bahwa tayangan televisi kita telah mengeksplotasi ketidakpantasan terhadap tayangan mayat-mayat bergelimpangan dan telah membusuk untuk dijadikan bahan pemberitaan.

Hanya saja, Victor Menayang mengungkap bahwa ukuran-ukuran kepantasan pemberitaan korban tsunami tidak bisa disamaratakan dengan ukuran budaya penayangan televisi dari luar. Karena, kepantasan berita sangat ditentukan faktor sejauhmana pekerja media memiliki ukuran nilai-nilai kemanusiaan dalam memberitakan suatu bencana.

Yang jelas, tayangan televisi tentang berita dan informasi bencana tsunami dialami warga Aceh tidak hanya berdampak menembus batas ruang dan waktu tetapi juga telah menembus dan membangkitkan rasa solidaritas kemanusiaan tanpa sekat-sekat idelogi, kepercayaan, politik, bahkan pandangan hidup.

Hal tersebut dinampakkan dalam bentuk respon publik yang ada di Indonesia dan masyarakat internasional. Bahkan bencana kemanusiaan ini mungkin mampu menenggelamkan konflik antara gerakan separatis GAM dengan Pemerintahan Jakarta.


Tiga fase kebudayaan

  • Menurut Ashadi Siregar (Pakar Komunikasi), ada tiga fase budaya:

(1) fase budaya lisan,

(2) budaya tulis,

(3) budaya audio-visual.



  • Budaya lisan adalah tradisi berperilaku, berekspresi dan berkomunikasi yang berbasis bahasa lisan (tradisi bertutur). Ini kita temui dalam masyarakat tradisional yang cenderung mendokumentasi berbagai hasil-hasil kebudayaannya (kearifan lokal/local wisdom) dalam laci ingatan dan bentuk ucapan/lisan.


  • Sedangkan budaya audio-visual merupakan tradisi kehidupan yang berbasis pada sistem pencitraan (visualitas) dan sistem pendengaran (auditif). Media audio-visual, seperti televisi, adalah media yang aktif: ia datang kepada publik untuk mewartakan dan menyampaikan berbagai peristiwa dan ide estetik maupun ide sosial kepada publik penonton.

  • Budaya audio visual sebagai budaya yang terakhir dan terbaru memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat, terutama dalam aspek informasi dan persuasi. Media ini terdiri dari dua elemen yang mempunyai kekuatannya masing-masing yang akhirnya bersinergi menjadi kekuatan yang dasyat.

Audio Power

  • Attention

Slap in the Ear”.

Sound effect are particularly good grabbers.

Music can be used either as mood statement that separates the commercial form the other music being played or as an attention getting audio theme, as clarion call or stage announcement.

  • Memorability

With the right word and music, it can have great “staying power”

  • Audio Imagery

  • Audio imagery can be even more powerful than visual imagery.

  • Images generated by audio suggestion will have more cross sensory detail than will visual message.

  • For Example you can create a picture in the mind. If some says “ mountain or beach” you probably think of those words in terms of some image of mountain or beach.

  • Unlike visual images, audio creates sensations easily in other sensation channels.

  • Emotions

Because it is intimate and because it uses personal participation and imagination. It has power to stroke the emotions more effective than any other medium.

  • For Example

People respond emotionally to the audio channel. When a person is moved to tears in movie, it is rarely because it same emotional image, more likely, that person is responding to something that is being said and that embellished by dramatic use of music and sound effect. To look a child face may be “moving” but the tears come when the child speaks. Its dialogue that tears at the hearts. Word music and sound effect create mood and mood generates emotions.

VISUAL POWER

  • Get Attentions

  • Demonstrates Features & Symbols

  • Depict situations & Settings

  • Establish Mood


MEDIA AUDIO VISUAL

Media audio visual ini punya kelebihan yaitu bisa memberikan gambaran yang lebih nyata serta meningkatkan retensi memori karena lebih menarik dan mudah diingat. Bagaimanapun kehadiran media audio visual tidak bisa kita hindari mengingat kelebihan dan daya tariknya yang luar biasa.

Selasa, 31 Maret 2009

sejarah


Media Audio Visual: Sejarah dan Perkembangannya

11 11 2008

audio-visual

Perkembangan Munculnya radio ternyata mengilhami terciptanya media yang lebih kompleks. Yaitu dengan menggabungkan gambar dan suara yang kemudian disebut film. Awalnya masih diputar di bioskop berupa film bisu hingga bersuara. Sampai akhirnya tercipta televisi, beserta alat-alat perekam (camera), pemutar (CD/VCD/DVD Player) dan penyimpannya (VHS/CD) dari film dan musik (gambar dan suara).

MEDIA AUDIO/RADIO
Sejarah dan Perkembangannya

Audio/Radio | 1

Perkembangan Audio Radio
Teknologi rekaman accuistic pertama dikembangkan pada tahun 1877 oleh Thomas Edison. Dia memproduksi suku cadang “phonogrph” yang memainkan kembali ritme lagu “Mary Had a Little Lamb” dari rotasi silinder. Tahun 1882 Emilie Berliner menciptakan gramophon, yang menggunakan flat-disk yang disebut “rekam” (record) termasuk silinder. Edison dan Berliner berlomba pada industri rekaman.

Guglielmo Marconi, seorang pemuda Italia penerima nobel, sukses mengkreasikan Wirelles telegraph menggunakan gelombang radio untuk menyampaikan pesan dalam sandi menggunakan ledakan panjang dan pendek pada gangguan radio. Teknik ini menggunakan praktis awal menggunakan radio, sebuah langkah utama dalam mengembangkan radio. Pada tahun 1890, Marconi mencoba mempromosikan untuk menggunakan telegrap untuk bisnis dan militer pada penduduk asli Italia, tetapi pemerintah negaranya tidak tertarik. Marconi lebih sukses di Inggris, di sini Marconi mendapat pengakuan pada tahun 1896 dan di US pada tahun 1904, bakat bisnisnya mendominasi pemakaian pertama radio telegraph untuk dua cara berkomunikasi di tempat Marconi bekerja. Jenis radio ini pertama digunakan untuk mengkordinasikan pelayaran samudra antara negara-negara. Dimana kawat telegraph betul-betul tidak sampai. Perusahaan Telegraph Marconi mendirikan stasion radio, untuk menerima dan mengirimkan kembali signal telegrap samudra dari pelayaran atau perkapalan. Perusahaannya juga menghasilkan dan mengoperasikan peralatan untuk mengirim dan menerima pesan radio telegrap. Tahun 1913, Marconi mendominasi radio di Eropa dan United State.

Perkembangan yang menerima kesuksesan radio dengan audiens berkembang pada radio FM pada tahun 1960. FM memiliki ketelitian rekaman suara yang tinggi, tetapi secara esensial hanya dalam pemancar radio. Rekaman FM dan 331/3 rpm dipindahkan ke dalam suara stereo (dua bagian mengkoordinasikan saluran musik pada tahun 1960. Lagu-lagu panjang dimainkan, dengan mulai mempengaruhi jenis-jenis lagu yang direkam. Tetapi pertengahan sampai akhir 1960 banyak kelompok-kelompok musik populer merekam lagu-lagu yang lebih panjang dari pada typikal single sepanjang 2-3 menit. Kadang-kadang lagu-lagu itu diselipkan pada rekaman 45 rpm, tetapi sebagian besar penggemar kelompok mulai membeli album yang berisikan lagu-lagu hits.

Hak cipta musik, syndicat talk show dan intellectual property lainnya menjadi topik utama baik radio maupun rekaman. Ketika artis-artis merekam musik yang ditulis oleh seseorang, baik untuk menjual langsung sebagai rekaman atau siaran radio, mereka mendapatkan ijin dan membayar royalti, biaya bagi penulis-penulis yang menggunakan intellectual property. Distribusi musik atas internet memunculkan kesulitan hak cipta dan masalah intellectual property. Sebenarnya rekaman digital yang sempurna ditransmisikan ke internet, tape-digital, disc or CD yang dapat merekam. Mencari solusi untuk mencegah peng-copan dan transmisi illegal, sementara memungkinkan menjual musik secara legal melalui internet. Aturan hak cipta memerlukan pembayaran hak cipta oleh artis, termasuk pemutaran rekaman pada radio. Dua kelompok lisensi musik dunia The American Sociaty of Composer, Author, anf Publisher (ASCAP) dan Broadcast Music Incorporated (BMI) sebagai perantara antara rekaman artis dan stasion-stasion radio. Stasion-stasion memperoleh lisensi musik yang didengarkan oleh kelompok lisensi musik dalam keuntungan biaya. Biasanya pendapatan stasion-stasion besar satu sampai dua persen. ASCAP atau BMI membayar hak cipta, menurut frekuensi lagu yang diputar.

TELEVISI/ VIDEO | 2

Televisi
audio-visual-2Saat radio tengah berkembang sebagai media penyiaran utama di akhir tahun 1920-an dan film-film tengah dicoba dengan diperbincangkan, beberapa orang mulai memikirkan tentang bagaimana radio dan gambar jika disatukan. Para pemirsa menyukai film-film bergambar sama seperti mereka menyukai radio pada tahun 1920-1940. Muncul ide untuk menggabungkan keduanya.

Pada tahun 1920 dan 1930 teknologi televisi berkembang tahap demi tahap. Dan pada dekade selanjutnya, siaran televisi diputar di seluruh dunia. Penyiaran pertama di Inggris tahun 1935. Di Amerika pertama kali menyiarkan pertandingan base ball Columbia melawan Yale tahun 1939.

TV Kabel
Akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980, industri film memulai meningkatkan keuntungan pada TV kabel dan sewaan videotape sebagai distribusi saluran baru. TV kabel sebagai sumber alternatif jaringan televisi, terutama untuk memperluas layanan oleh Home Box Office (HBO) tahun 1975. Saluran-saluran seperti HBO secara eksklusif banyak pada isi film yang akan datang. Satelit baru didasarkan Superstation kabel WGN dan WTASWOR, menggunakan film-film tua

VCRS
Videocassete recorders (VCRS) meluas di rumah-rumah orang Amerika pada tahun 1980. Menggunakan VCRS sangat cepat. Orang menggunakan VCRS untuk merekam dan memutar pertunjukkan-pertunjukkan favorit di televisi beberapa film yang disewakan dari toko-toko video.

Bisnis penyewaan video dimulai dengan toko-toko penyewaan kecil yang tidak bergantung pada apapun, yang membeli stok video dari distributor. Akhirnya dikonsolidasikan secara meyakinkan dengan beberapa supermarket dan toko-toko lain yang menyewakan video, dan dengan penyewaan video yang meluas, seperti Blockbuster dan Hollywood video, memberikan banyak peluang bisnis.

Umumnya, industri film mulai memproduksi yang difokuskan pada kedekatan audiens. Setelah “massa” audiens berpindah ke TV, film mempunyai tujuan pada kelompok yang lebih spesifik. Untuk distribusi pertunjukkan pertama film bioskop, kebanyakan target film-film itu ditinggalkan khusus pada audiens, yang berumur 18-25 tahun yang masih keluar untuk ke bioskop.

Tentu, sebagaimana kita ketahui, sejarah film itu tidak berakhir dengan George Lucas. Akhir tahun 1990, industri film ditransformasikan oleh teknologi baru dan kekuatan pasar. Home video memiliki tenaga penggerak dengan pajak dari toko yang menyewakan video dan penjualan langsung video (terkenal sebagai sell through) melebihi penerimaan box office dua ke satu. Penyewaan video yang besar meminta pergantian keuntungan dari pembuat film. Biaya memproduksi film-film utama, sebagai produser berlomba melakukan yang lainnya dengan pengaruh khusus computer, dengan perkembangan biaya yang besar diharapakan audiens besar pula. Film membuat studio utama mulai bereaksi terhadap aliran-aliran (ad. Pengetahuan tentang fiksi, aksi petualangan) yang dapat “diterjemahkan” antar budaya. Tetapi diluar itu studio-studio utama, itu merupakan kebangkitan kembali kebebasan pembuatan film, sebagai teknologi komputer biaya “small film” dan menawarkan prospek pembuatan film terlepas dari tekanan keuangan.

Umumnya audiens film tidak lama menonton di rumah. Film merupakan tontonan utama pada televisi, kabel, atau video. Rata-rata jumlah waktu yang digunakan menonton film pada video telah berkembang dalam dekade akhir ini. Lebih 4/5 orang Amerika memiliki VCR di rumah. Lebih 3/5 orang Amerika menyewa video tape. Orang dewasa muda, khususnya keluarga usia muda, yang menyewa film yang berperan jahat, dan video anak-anak yang aliran/gayanya sangat populer. Rata-rata ibu rumah tangga mengeluarkan lebih $170 pertahun untuk menyewa dan membeli video caset. Menonton film di teater sekarang disenangi orang yang berumur antara 15 sampai 24, 1/3 yang ke bioskop paling kurang sekali sebulan, dibandingkan 1/5 dari semua orang dewasa. Meskipun proporsi orang dewasa muda lebih kecil yang menghadiri bioskop pada tahun sebelumnya, jumlah orang dewasa muda berkembang sebagai seorang baby “sangat berkembang” hebat, sehingga pembuat film terus menerus dipengaruhi oleh audiens muda.

FILM/SINEMATOGRAFI | 3
Di era film bisu (1903 sampai 1917), film cerita sejarah sangat berkembang. Film hitam putih yang dan masih bisu, tetapi ini tidak membatasi mereka berkreasi dan menghentikan untuk menceritakan sejarah. Justru membuat penonton mempergunakan imajinasi mereka. Musik di film dahulu ditampilkan oleh organist, yang bermain musik untuk mengarang lagu yang sesuai dengan komposisinya. Film-film sering meminjam atau alur cerita diadaptasikan dari novel.

Kebanyakan usaha-usaha awal pembuatan film membuat film cerita bergambar. Edison memikirkan bahwa orang-orang butuh gambar untuk mendengar rekaman suara. Asisten Edison yaitu Thomas Dickson mengadakan percobaan dengan film bersuara sebelum tahun 1895. Kebanyakan sistem sebelumnya menggantungkan player rekaman dikoordinasikan dengan film. Studio-studio tersebut pada awalnya enggan menginvestasikan ke dalam teknologi suara, sebagaimana film yang diproduksi di rumah-rumah. Studio kecil, Warner bersaudara, membuat komitmen untuk mengembangkan teknologi suara dan mendapat bantuan AT & TIS Western Eleectric Company. Mereka berhasil menciptakan film cerita pendek yang disebut The Vitaphone Preludes. Film-film “Utaphone” ke-4 mampu malampaui ketenaran “The Jazz Singer” pada tahun 1927.

Masa krisis aktor dan studio-studio digunakan untuk pembuatan film-film bisu yang ada ke dalam musik klasik Singing In The Rain (1952). Meskipun penonton merasa senang terhadap potensi-potensi baru film yang bersuara dan musik, beberapa artis belum terbiasa. Mereka merasa akting kurang mendapat penekanan. Saat kualitas vokal aktor mendapat kritikan. Tiba studio-studio terampil menggunakan pengaruh suara dan musik. Beberapa aktor dan aktris, seperti Suitney Greta Garbo, membuat transisi vokal.

Menurut survey, kebanyakan orang pergi ke Bioskop paling sedikit setiap minggu (sekali seminggu), kadang-kadang lebih. Setiap minggu mereka mendapatkan informasi dari warta berita, seperti berita-berita Fox’s Movietone News dan March of Time, yang menyediakan informasi tentang hiburan di dunia. Mereka menanti dari minggu ke minggu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi pada Flash Gordon berikut atau serial pahlawan-pahlawan yang dimainkan sebelum film utama.

Kehadiran bioskop menghasilkan banyak uang, bioskop (gambar hidup) menjadi bisnis yang menguntungkan, depresi yang besar mematikan produser-produser kecil dan hampir 5000 bioskop teater. Secara aktual ketidakberuntungan memperkuat situasi ekonomi dan mengontrol beberapa studio besar, dan keputusan kebijakan produksi ada ditangan para eksekutif studio.

Tahun 1930, muncul pula organisasi studio yang agak bagus, munculnya 5 studio utama. Paramount, Locw’s / MGM, Warner Brother’s, Fox dan RKO. Studio-studio ini milik para eksekutif itu sendiri, mereka mendistribusikan pada bioskop teater, mengontrol produksi, distribusi dan pameran memungkinkan studio-studio yakin bahwa gambar hidup didistribusikan dan dimainkan secara luas, tetapi bentuk dikonstitusikan pada integrasi vertikal yang pada akhirnya menggambarkan perhatian bagi federal regulators concerned tentang kekuatan konsentrasi di studio-studio.

Hingga akhirnya sampai sekarang bermunculan film-film dengan genre yang beragam mulai drama, action, horor, komedi, dan yang lainnya. Selain itu muncul juga “trend-center” di bidang perfilm-an seperti Hollywood, Bollywood, Film eropa (inggris dan Perancis), Asia, dll. Masing-masing pusat memiliki gaya dan ciri masing-masing. Jika dahulu kita begantung hanya di bioskop jika ingin menikmati film dengan layar lebar, maka kini telah tercipta “home-teather” yang memungkinkan kita untuk dapat menikmatinya di rumah. Alat-alat canggih-pun telah ditemukan dan diciptakan guna mengakomodasi perkembangan media audio visual ini.

RENUNGAN | 3
Dengan melihat betapa semakin beragam, canggih dan modern media audio visual maka kita yang berkiprah di dunia pembelajaran dan pendidikan tentunya tertarik dan tertantang ubtuk memanfaatkannya di bidang keilmuan kita. Pengetahuan keilmuan, keterampilan penggunaan media dan sedikit kebijakan dalam memanfaatan media tersebut akan membawa kita kepada lingkungan belajar yang kondusif dan tidak konvensional.

“Radio dan Televisi, masing-masing memiliki karakteristik media yang berbeda. Pemanfaatan keduanya secara tepat dapat menciptakan proses dan hasil belajar yang maksimal”

DAFTAR RUJUKAN
  • Mangunhardjana, A Mardija. 1976. Mengenal Film. Yogyakarta: Kanisius
  • Boggs, Joseph M. 1986. The Art of Watching Film.
  • Subroto, Darwanto Sastro. 1994. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
  • Smaldino, Sharon E. ..(et al). 2005. Instructional Technology and Media for Learning (8th ed). New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall
  • Romli, Asep Syamsul M. 2004. Broadcast Journalism. Bandung: Nuansa