Sabtu, 11 Desember 2010

Di Tengah Penghabisan

Terdengar langkah kaki yang jarang terdengar dalam keramaian kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Langkah kaki itu terdengar sangat serasi dengan gemerincingan lonceng yang juga menimbulkan alunan-alunan nada yang khas. Sesekali juga terdengar suara seorang laki-laki yang berteriak seakan memberikan semangat pada seekor kudanya. Kuda itu kian berlari kencang menarik para penumpang yang terlihat senang karena menaiki kendaraan yang berbeda di tengah ratusan kendaraan bermotor.

Suara tapal kuda yang bergantian terdengar menimbulkan irama yang sangat unik. Tak ada kebisingan yang ditimbulkan seperti motor yang bergantian mondar-mandir dalam keramaian. Kelincahan kuda yang menarik dokar dengan dipenuhi penumpang itu menyebabkan suasana yang sangat berbeda jika dibandingkan menaiki angkutan umum.
Tak ada lagi terdengar nyanyian lagu “Naik Delman” yang dulunya sangat populer dan sering dinyanyikan oleh anak-anak. Namun hal itu telah lama tak dijumpai dan terdengar dinyanyikan lagi. Keadaan tersebut seakan mempunyai nasib yang sama dengan keberadaan dokar. Tak mudah untuk menjumpai keberadaan dokar di kota-kota yang dulunya memiliki sejarah dokar yang sangat kental.
Dokar seakan menjadi peninggalan budaya yang terasingkan di tengah perkembangan zaman. Tekhnologi yang semakin menciptakan penemuan-penemuan baru menimbulkan dampak yang sangat besar dengan keberadaan dokar. Kendaraan bermotor bertambah makan dokar pun semakin berkurang.
Malang memiliki beribu keindahan alam karena letak geografisnya yang berada di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi berselimut hijaunya hutan. Seakan pesona seribu kekayaan alam tersebut menjadikan Malang menjadi salah satu Kota Wisata yang banyak dikunjungi oleh turis-turis lokal maupun luar negeri. Keberadaan tempat wisata terkesan kurang memberikan dampak positif bagi para penarik dokar yang hanya terlihat tidak kurang dari 10 sampai 20 unit dokar saja.
Nama kota Malang sepertinya dapat disama artikan dengan keadaan dokar yang ada saat ini yaitu bernasib malang. Tak terdapat sedikit perhatian pun terhadap keberadaan dokar yang semakin sedikit jumlahnya.
Dokar yang dulunya menjadi primadona dan merupakan kendaraan mewah yang hanya dapat dinaiki oleh raja dan pejabat-pejabat kerajaan kini menjadi kendaraan yang sangat mudah dan murah untuk dinaiki. Semua kalangan masyarakat bisa menaikinya untuk menuju ke tempat tujuannya, hanya dengan tarif yang terbilang sangat murah. Keadaan yang sangat bertolak belakang, namun itulah fakta yang sebenarnya.
Di Malang keberadaan dokar sangat jarang untuk ditemui karena tergeserkan oleh perkembangan zaman yang berubah sangat pesat. Tak seperti kota Solo, Jogjakarta dan kota-kota yang masih mempertahankan kendaraan dokar, kota Malang sangat sulit sekali untuk menjumpai dokar. Dokar dapat ditemui di beberapa tempat di Malang yaitu Tumpang, Lawang, Singosari dan beberapa tempat yang keberadaan dokar belum sepenuhnya diketahui masyarakat.
Menurut Bambang (45) yang telah berprofesi sebagai kusir dokar selama 25 tahun keberadaan dokar di Pasar Tumpang jumlahnya mengalami penurunan yang sangat drastis karena kalah bersaing dengan angkot dan sepeda motor.
Kota wisata yang melekat pada kota Malang tak bisa mengangkat keberadaan dokar yang bisa menjadi aset penting jika di kolaborasikan dengan tempat-tempat wisata itu. Pengunjung tentunya menginginkan dapat merasakan keindahan alam dengan menggunakan kendaraan yang jauh dari namanya polusi udara.
Di beberapa lokasi yang masih terdapat dokar, masih banyak masyarakat memanfaatkan keberadaan dokar sebagai alat transportasi. Hal itu terjadi karena tarif dokar yang sangat murah jika dibandingkan naik angkot.
Di Pasar Tumpang tarif untuk setiap orangnya menaiki dokar hanya berkisar antara Rp. 1000 hingga Rp. 1.500 dengan rute Pasar Tumpang ke Jeru. Di sana masih dapat ditemui beberapa dokar yang masih beroperasi mencari penumpang kesana kemari.
Berbeda lagi dokar yang berada di daerah Pasar Singosari, dokar yang ada disana sudah beralih fungsi dari alat transportasi umum menjadi alat transportasi wisata. Hal itu terjadi karena keberadaannya yang terlihat sangat sedikit. Hanya terdapat sekitar 10 unit dokar. Tarif per orang untuk dapat menaiki dokar dengan rute Pasar Singosari menuju tempat wisata Peninggalan Purbakala Singosari adalah rata-rata Rp. 2.500.
Tak seperti di Pasar Tumpang yang setiap harinya dokar masih diminati oleh masyarakat sekitar, tetapi di Pasar Singosari penumpangnya hanya orang-orang yang sedang berkunjung ke tempat wisata saja sehingga pendapatan yang di dapat tak bisa selalu di prediksikan. Namun, penghasilan bertambah jika di waktu liburan karena banyaknya pengunjung yang berkunjung ke tempat wisata, hanya saja tredapat persaingan yang terjadi di antara para penarik dokar lainnya.
Dalam sehari penarik dokar dapat mengumpulkan penghasilan yang sangat sedikit jika dibandingkan oleh waktu kerja mereka. Tarif yang mereka terapkan hanya bisa terkumpul dari Rp. 15.000 hingga Rp. 20.000 dengan minimal dua kali antar jemput penumpang penuh. Penghasilan yang sangat sedikit tersebut mereka gunakan untuk membeli bahan makanan untuk kebutuhan keluarga. Dokar di mata para penarik dokar menjadi tumpuan utama dalam upaya mencari sesuap nasi. Sangat miris jika melihat kenyataan yang sedang terjadi karena penghasilan yang tak menentu dan sangat terbatas itu.
Keberadaan di beberapa tempat itu masih mendapatkan perhatian dari turis-turis yang senantiasa pergi berkunjung ke tempat-tempat wisata yang terdapat di Malang. Bagi pengunjung menaiki dokar bukan hal yang biasa karena kendaraan tradisional tersebut sangat sulit sekali ditemui di daerah perkotaan. Selain itu dokar merupakan kendaraan yang tidak menyebabkan polusi udara seperti kendaraan bermotor yang kian hari bertambah jumlahnya.
Malang yang dulunya dikenal sebagai kota dingin saat ini telah berubah. Udara dingin yang melekat pada kota Malang seakan terkikis karena semakin bertambahnya kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Hal tersebut menyebabkan polusi udara yang sangat berbahaya atas keberadaan makhluk hidup yang hidup di alam kota Malang. Panas dan pengap sudah mulai terasa oleh warga Malang. Dokar sekedarnya memberikan sedikit solusi untuk mengurangi masalah yang sangat fatal dialami beberapa kota besar di Indonesia.
Dokar memang dari segi efisien waktu dinilai kurang efektif karena kecepatannya terkalahkan oleh keberadaan kendaraan bermotor. Namun, jika di kaji dari segi kebersihan alam maka dokar menjadi salah satu alternatifnya. Selain itu, dokar tidak membutuhkan bahan bakar bensin maupun solar yang kian waktu semakin berkurang dan jumlahnya semakin sedikit. Solusi tersebut setidaknya memberikan beberapa manfaat yang dapat diambil garis merahnya oleh pemerintah kota Malang.
Jika dibandingkan keberadaan dokar di kota Jogjakarta dengan yang berada di kota Malang memang kalah jauh jumlahnya. Di Jogjakarta dokar masih dimanfaatkan oleh para turis untuk berjalan-jalan keliling kota dan menikmati keindahan alam serta kekayaan arsitektur bangunan kuno yang merupakan peninggalan penjajah Belanda. Dokar masih berada di tempat yang layak untuk sekedar kendaraan tradisional. Karena hal itu dianggap merupakan daya tarik tersendiri sehingga para pengunjung tertarik dan merasa senang yang dapat menimbulkan keinginan untuk kembali berkunjung.
Dokar memang menjadi identitas diri dari masyarakat Jawa. Dokar yang notabenenya merupakan kendaraan khas masyarakat Jawa di zaman dulu, menyebabkan masyarakat yang berprofesi penarik dokar di Singosari dan Tumpang berusaha mempertahankan keberadaannya.
“Saya rasa keberadaan dokar sangat diperlukan karena dokar merupakan warisan nenek moyang dan kendaraan khas masyarakat Jawa yang harus dijaga kelstariannya agar tidak tergeser oleh kendaraan-kendaraan modern,” ungkap Ngatenan.
Dokar Angkutan Wisata Kota Malang, begitulah tulisan yang tertera disetiap dokar yang beroperasi di Festival Malang Kembali (FMK). Keadaan tersebut hanya bisa dijumpai ketika terdapat Festival Malang Kembali yang hanya berlangsung beberapa hari saja. Ada ataupun tidak adanya dokar untuk dihadirkan dalam festival tersebut seakan tidak memberi pengaruh apapun untuk keberadaan dokar di kota Malang. Dokar seakan hanya menjadi pelengkap festival sebagai kendaraan zaman dulu.
Masyarakat kota Malang seakan tidak peduli dengan keberadaan dokar yang semakin terkikis jumlahnya. Di Pasar Dinoyo juga bisa dijumpai akan tetapi tak sebanyak di Tumpang dan Singosari. Tak banyak yang mampu bertahan di tengah beroperasimya kotak-kotak bermotor tersebut. Hanya satu hingga dua dokar saja yang terlihat di sana. Keadaan tersebut tak dapat setiap hari dapat dijumpai.
Hanya masyarakat tertentu saja yang masih menggunakan dokar. Anak-anak yang penuh dengan rasa penasaran yang merengek-rengek kepada ibu dan ayahnya untuk bisa naik dokar yang terlihat. Masyarakat kalangan menengah ke bawah saja yang terlihat menaiki kendaraan tradisional itu. Senyum senda gurau yang terasa saat naik di atas dokar yang sedang berjalan kencang, di tengah ibu-ibu yang sedang bergosip ria. Ditambah lagi dengan suasana serasa hidup di zaman dulu.
Suasana itu tak bisa dirasakan ketika menaiki angkot yang merupakan hasil dari perkembangan tekhnologi di zaman modern dewasa ini. Hanya kebisingan mesin yang mengganggu dan membuat kegaduhan di jalan-jalan. Pengap dan panas yang terasa karena berdempet-dempetnya penumpang. Tak ada angin yang secara leluasa berhembus di tengah keadaan itu. Asap yang menggumpal mengikis lapisan ozon yang terlihat, membuat semakin kotor keadaan udara yang setiap harinya dihisap oleh banyak makhluk hidup.
Bensin dan solar yang semakin menipis jumlahnya akibat jumlah kendaraan bermotor yang tak dibatasi. Membuat kekayaan alam semakin miskin dan habis. Orang-orang hanya bisa menyalahkan satu sama lain tanpa ada upaya untuk mengurangi dampak yang dialami oleh banyak makhluk hidup. Sehingga takkan ada lagi kemarahan alam akan keganasan manusia itu.
Sang Penarik Dokar (Kusir)
Sang penarik dokar hanya bisa tersenyum pasrah melihat dan menunggu para calon penumpangnya. Tak terdapat kesedihan yang tampak dari raut muka laki-laki tangguh itu. Sesekali waktu sedikit keringat yang tumpah di dahinya menetes diusap dengan menghela nafas lelah. Aktivitas itu sepertinya tak terlepas dari para penarik dokar yang sedang duduk di atas dokarnya.
Tak sedikit terlihat beberapa laki-laki itu rambutnya di penuhi dengan uban-uban putih. Kerut kulit muka yang semakin lama kehilangan kekencangannya. Perubahan fisik itu seakan terabaikan oleh tantangan hidup yang berat. Sepanjang hidup hanya berdampingan dengan dokar dan kuda yang menariknya. Dapat di bilang orang itu dan kudanya telah lama bersahabat dan bersama berbagi suka maupun duka.
Bagi akhmad (40) profesi menjadi penarik dokar telah lama digelutinya. Dari berumur 20 tahun hingga saat ini berbagai peristiwa tentang keberadaan dokar dia alami. Sekitar tahun 90-an keberadaan dokar masih banyak, jumlahnya bisa mencapai 50 sampai 60 unit dokar. Namun pada tahun 2000 keberadaan dirasakannya semakin lama semakin sedikit, karena berbagai macam sebab.
Dari berbagai sebab itu, salah satunya perkembangan zaman yang sangat cepat. Hadirnya kendaraan bermotor di Indonesia menyebabkan dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Banyak masyarakat yang lebih memilih naik sepeda motor, dan angkot karena mereka menganggap lebih cepat dan nyaman. Di lain pihak dampak dari semua itu sangat dirasakan bagi para penarik dokar karena semakin minimnya pendapatan perharinya. Dulu bisa mendapatkan penghasilan perharinya hingga Rp. 50.000 ke atas namun saat ini hanya sekitar Rp. 15.000 dan itu pun jika beruntung. Malah yang lebih sering membawa pulang hanya Rp. 5.000 saja.
Bagi pria yang memulai aktivitasnya dari pukul 07.00 hingga 13.00 tidak menjadikan profesi penarik dokar sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal itu dia rasakan takkan cukup, maka dia mengisi waktu sore untuk pergi ke sawah yang dia tanami dengan berbagai tanaman pangan. Misal padi, jagung, ubi, singkong dan lain-lain.
Doa-doa dan harapan kecil tetap tercurahkan dalam setiap nafas yang terhembus. Harapan kecil itu seakan memberi sejuta rasa dan semangat bagi pria-pria tangguh itu. Semangat itu dengan sendirinya mengalir pada sang kuda yang tanpa lelah mengikuti perintah penarik dokar.
Tak ada lagi yang perlu dia sesali untuk tetap menjalani hidup sebagai penarik dokar. Baginya pekerjaan itu merupakan salah satu pengabdiannya pada negara dan peninggalan nenek moyang yang turun temurun berlangsung dalam keluarganya. ia anggap hal itu usahanya untuk menjaga kekayaan negara akan budaya yang semakin terkikis oleh budaya-budaya orang barat.
Perawatan untuk sang kuda pun harus juga di perhatikan oleh si penarik dokar. Setiap dua hari sekali mencari rumput untuk makanan kudanya. Hal itu rutinitas dilakukan agar sang kuda dapat tetap beraktivitas mencari nafkah.
Penarik dokar yang terlihat semakin lama tua juga tak bisa terhindarkan oleh sang kuda. Kekuatan dan ketangguhannya pun semakin lama tak sekuat dulu lagi. Tak ada pilihan lain, sang penarik dokar harus menukarkannya dengan kuda yang lebih muda dan lebih kuat untuk tetap bisa menjalankan dokarnya itu. Persahabatan antara si penarik dokar dan kudanya pun berakhir dengan perpisahan. Dan si penarik dokarpun harus merelakannya dan menjalin persahabatan yang baru dengan kuda barunya itu.
Tak dapat dibayangkan jika keberadaan dokar ditengah masyarakat Jawa hilang begitu saja. Hanya tinggal jejak sejarah saja dan terpajang di museum-museum. Sayang sekali jika tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk tetap mempertahankan keberadaan kendaraan tradisional yang memiliki nilai sejarah tersebut. Dokar merupakan saksi bisu keberadaan Indonesia zaman dulu hingga zaman sekarang.
Takkan lagi terdengar generincingan dan dentuman langkah kuda yang bergantian melangkah dengan semangatnya. Takkan terdengar pula teriakan penarik dokar yang sangat khas itu. Saat ini saja masih banyak orang yang merasa rindu akan suara-suara itu. Mereka seakan merindukan sesuatu yang biasa mereka lakukan dan naiki ketika masih kecil pada saat di desa dulu. Sambil menyanyi “naik delman” serasa semua itu bisa dihadirkan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar