Senin, 19 Maret 2012

Malang Oh Malang


Saat ini aku kuliah di kota pendidikan Malang, Jawa Timur. Tepatnya disalah satu universitas swasta terkemuka di Malang maupun di Indonesia. Sudah sekitar tiga setengah tahun aku bergelut berjuang untuk menyelesaikan pendidikanku. Dan akhirnya, insyaALLAH semester depan tugas akhir sebagai syarat lulus akan mulai aku kerjakan. Doakan saja ya.
Awal dulu ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku di kota Malang, serasa memang suasana yang sangat berbeda dengan suasana tempat asalku yakni Pamekasan, Madura. Suhu panas, gerah, dan berbaur dengan keringat yang senantiasa mengucur deras dalam setiap aktivitasku harus kurasakan setiap hari. Memang keadaan ini selalu bisa dirasakan karena memang Madura merupakan tempat yang sangat panas. Berbeda terbalik dengan kota Malang suhu dingin, sejuk, segar, hijau, dan nyaman sangat kurasakan saat itu. Sungguh semangatku berkobar-kobar dengan suasana yang sangat mendukung seperti itu. Setiap pagi kuhirup udara yang sangat segar, ku berwudlu di subuh dengan air yang sangat dingin seperti halnya air didalam kulkas serta aroma kabut yang masih menyelimuti Malang di pagi itu. Segar, segar dan segar, menyenangkan rasanya jika setiap pagi kudapat merasakan keadaan ini. Saat ini Malang telah panas menyengat dan hampir tidak beda jauh dengan Madura ataupun Surabaya.
Dalam ingatanku hingga saat ini, ketika itu Malang memang tidak seramai dan sepadat sekarang. Kendaraan bermotor berlalu lalang kian kemari menyebarkan udara-udara kotor untuk menyelimuti udara segar Malang. Dulu aku masih menemui burung-burung saling berkicau, pohon-pohon hijau berayun menari di pinggir jalan, serta angin segar hulu hilir menyapa setiap makhluk hidup sekitarnya. Indah dan menyenangkan rasa-rasanya. Dalam benakku sungguh aku tak salah pilih aku melanjutkan pendidikanku di Malang. Namun, seakan semua suasana yang aku rasakan tersebut hilang sekejap seiring berkembangnya kota Malang menjadi semakin modern. Pembangunan sana sini yang ku temui hingga saat ini memang memberikan perbedaan yang sangat signifikan. Bangunan besar telah banyak berdiri kokoh menghiasi kota, kendaraan besar seperti Bus, truk besar  dan kendaraan besar lainnya telah lama berlalu lalang dan ikut serta meracuni Bumi Arema ini.
Selain suasana yang menyegarkan seperti yang aku deskripsikan diatas yang sudah hilang kegaduhan, kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan hati para AREMA serasa sudah mulai luntur dan hilang kemegahan dan kegagahannya. Si Singo Edan yang di umbar-umbarkan kebersamaannya dalam ikrar “SALAM SATU JIWA” terpecah oleh kepentingan-kepentingan orang-orang asing. Meskipun nyatanya, aku bukan asli dari Malang, tapi rasa dan keinginan tetap mendukung AREMA tetap ada di benak dan batinku. Kemudian, keberadaan perpecahan tersebut membuat keadaan sekitar Malang sangat berbeda, biasanya ketika AREMA bertanding di Stadion Gajayana atau Stadion Kanjuruhan Malang akan banyak Aremania dan Aremanita berkumpul untuk siap-siap menonton bersama dengan memakai atribut-atribut lengkap ala Arema. Akan tetapi, saat ini sangat berbeda jarang sekali aku menemui suasana-suasana seperti itu, terkadang ketika perjalanan pulang dari kampus ke kosku menemui Aremania dan Aremanita berlalu lalang berkelompok di sepanjang jalan.
Jika kita amati keberadaan Angkutan Kota (Angkot) yang merajalela diseluruh kota Malang kini serasa semakin berkurang jumlahnya. Entah karena memang keberadaan mahasiswa yang sudah mempunyai kendaraan masing-masing. Tidak bisa dipungkiri jumlah sepeda motor di Malang sudah sangat membludak, sehingga di sepanjang jalan kemacetan sana sini dapat terjadi. Meskipun adanya angkot terkadang membuat beberapa orang jengkel karena kelakuan supir angkot yang ugal-ugalan, berhenti mendadak, mengisi kuota angkot melebihi sewajarnya, serta ongkos angkot yang tidak wajar (biasanya jauh-dekat Rp. 2.500,- bisa menjadi Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-), tapi tetap saja memberikan warna yang variasi di kota pendidikan ini.
Keadaan yang berbeda juga dapat dirasakan di sepanjang jalan Pasar Dinoyo yang telah lama menjadi salah satu ikon kota Malang. Dulu kemacetan yang panjang selalu terjadi di titik ini, apalagi pas akhir-akhir pekan atau hari libur, banyak bus-bus dan kendaraan besar lainnya lewat dijalan Dinoyo untuk menuju ke tempat wisata di Malang maupun di Batu. Namun, keramaian di Pasar Dinoyo tidak akan seperti dulu lagi hal itu karena akibat kepentingan pemerintah atau bisa dikatakan kepentingan pihak-pihak elit dalam upaya untuk membangun pasar modern sebagai pengganti pasar tradisional akhirnya menyebabkan terpinggirkannya pedagang-pedagang untuk mencari mata pencaharian. Sangat tragis jika harus melihat realita seperti ini. Mengapa harus mengedepankan kepentingan-kepentingan orang-orang elit jika nyatanya akan membuat semakin banyak orang-orang kelas bawah menjadi semakin terpuruk dalam kesengsaraan kemiskinan.

2 komentar:

  1. sedihnya klo sperti tu kondisi mlg skrg! Dulu q 4,5 th di mlg bnr2 mnikmati suasanax sampe skrg kadang kangen pengen ksana lg,,,,
    Sampeyan dr pamekasan mana?

    BalasHapus
  2. yha begitulah sekarang, serasa berdesakan oleh lalu lalang kendaraan bermotor
    aku pamekasan Lawangan DAya...

    BalasHapus