Saat ini aku kuliah di kota
pendidikan Malang, Jawa Timur. Tepatnya disalah satu universitas swasta
terkemuka di Malang maupun di Indonesia. Sudah sekitar tiga setengah tahun aku
bergelut berjuang untuk menyelesaikan pendidikanku. Dan akhirnya, insyaALLAH
semester depan tugas akhir sebagai syarat lulus akan mulai aku kerjakan. Doakan
saja ya.
Awal dulu ketika pertama
kali aku menginjakkan kakiku di kota Malang, serasa memang suasana yang sangat
berbeda dengan suasana tempat asalku yakni Pamekasan, Madura. Suhu panas,
gerah, dan berbaur dengan keringat yang senantiasa mengucur deras dalam setiap
aktivitasku harus kurasakan setiap hari. Memang keadaan ini selalu bisa
dirasakan karena memang Madura merupakan tempat yang sangat panas. Berbeda
terbalik dengan kota Malang suhu dingin, sejuk, segar, hijau, dan nyaman sangat
kurasakan saat itu. Sungguh semangatku berkobar-kobar dengan suasana yang
sangat mendukung seperti itu. Setiap pagi kuhirup udara yang sangat segar, ku
berwudlu di subuh dengan air yang sangat dingin seperti halnya air didalam
kulkas serta aroma kabut yang masih menyelimuti Malang di pagi itu. Segar,
segar dan segar, menyenangkan rasanya jika setiap pagi kudapat merasakan
keadaan ini. Saat ini Malang telah panas menyengat dan hampir tidak beda jauh
dengan Madura ataupun Surabaya.
Dalam ingatanku hingga saat
ini, ketika itu Malang memang tidak seramai dan sepadat sekarang. Kendaraan
bermotor berlalu lalang kian kemari menyebarkan udara-udara kotor untuk
menyelimuti udara segar Malang. Dulu aku masih menemui burung-burung saling
berkicau, pohon-pohon hijau berayun menari di pinggir jalan, serta angin segar
hulu hilir menyapa setiap makhluk hidup sekitarnya. Indah dan menyenangkan
rasa-rasanya. Dalam benakku sungguh aku tak salah pilih aku melanjutkan
pendidikanku di Malang. Namun, seakan semua suasana yang aku rasakan tersebut
hilang sekejap seiring berkembangnya kota Malang menjadi semakin modern.
Pembangunan sana sini yang ku temui hingga saat ini memang memberikan perbedaan
yang sangat signifikan. Bangunan besar telah banyak berdiri kokoh menghiasi
kota, kendaraan besar seperti Bus, truk besar
dan kendaraan besar lainnya telah lama berlalu lalang dan ikut serta
meracuni Bumi Arema ini.
Selain suasana yang
menyegarkan seperti yang aku deskripsikan diatas yang sudah hilang kegaduhan,
kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan hati para AREMA serasa sudah mulai luntur
dan hilang kemegahan dan kegagahannya. Si Singo Edan yang di umbar-umbarkan
kebersamaannya dalam ikrar “SALAM SATU JIWA” terpecah oleh kepentingan-kepentingan
orang-orang asing. Meskipun nyatanya, aku bukan asli dari Malang, tapi rasa dan
keinginan tetap mendukung AREMA tetap ada di benak dan batinku. Kemudian,
keberadaan perpecahan tersebut membuat keadaan sekitar Malang sangat berbeda,
biasanya ketika AREMA bertanding di Stadion Gajayana atau Stadion Kanjuruhan
Malang akan banyak Aremania dan Aremanita berkumpul untuk siap-siap menonton
bersama dengan memakai atribut-atribut lengkap ala Arema. Akan tetapi, saat ini
sangat berbeda jarang sekali aku menemui suasana-suasana seperti itu, terkadang
ketika perjalanan pulang dari kampus ke kosku menemui Aremania dan Aremanita
berlalu lalang berkelompok di sepanjang jalan.
Jika kita amati keberadaan
Angkutan Kota (Angkot) yang merajalela diseluruh kota Malang kini serasa
semakin berkurang jumlahnya. Entah karena memang keberadaan mahasiswa yang
sudah mempunyai kendaraan masing-masing. Tidak bisa dipungkiri jumlah sepeda
motor di Malang sudah sangat membludak, sehingga di sepanjang jalan kemacetan
sana sini dapat terjadi. Meskipun adanya angkot terkadang membuat beberapa
orang jengkel karena kelakuan supir angkot yang ugal-ugalan, berhenti mendadak,
mengisi kuota angkot melebihi sewajarnya, serta ongkos angkot yang tidak wajar
(biasanya jauh-dekat Rp. 2.500,- bisa menjadi Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-),
tapi tetap saja memberikan warna yang variasi di kota pendidikan ini.
Keadaan yang berbeda juga
dapat dirasakan di sepanjang jalan Pasar Dinoyo yang telah lama menjadi salah
satu ikon kota Malang. Dulu kemacetan yang panjang selalu terjadi di titik ini,
apalagi pas akhir-akhir pekan atau hari libur, banyak bus-bus dan kendaraan
besar lainnya lewat dijalan Dinoyo untuk menuju ke tempat wisata di Malang
maupun di Batu. Namun, keramaian di Pasar Dinoyo tidak akan seperti dulu lagi
hal itu karena akibat kepentingan pemerintah atau bisa dikatakan kepentingan
pihak-pihak elit dalam upaya untuk membangun pasar modern sebagai pengganti
pasar tradisional akhirnya menyebabkan terpinggirkannya pedagang-pedagang untuk
mencari mata pencaharian. Sangat tragis jika harus melihat realita seperti ini.
Mengapa harus mengedepankan kepentingan-kepentingan orang-orang elit jika
nyatanya akan membuat semakin banyak orang-orang kelas bawah menjadi semakin
terpuruk dalam kesengsaraan kemiskinan.
sedihnya klo sperti tu kondisi mlg skrg! Dulu q 4,5 th di mlg bnr2 mnikmati suasanax sampe skrg kadang kangen pengen ksana lg,,,,
BalasHapusSampeyan dr pamekasan mana?
yha begitulah sekarang, serasa berdesakan oleh lalu lalang kendaraan bermotor
BalasHapusaku pamekasan Lawangan DAya...